Selasa, 25 Maret 2008

Etika lalu-lintas….

Hemh…sudah bukan hal aneh lagi selama weekend pasti kota Bandung akan dipenuhi wisatawan lokal terutama wisatawan dari Ibukota. Walhasil Bandung yang sudah mulai padat penduduk selalu langganan macet total di hari sabtu atau kalender merah. Orang-orang Bandung terkurung di rumah karena malas menghadapi macet di jalanan yang dipenuhi plat kendaraan luar kota Bandung. Saya sendiri termasuk warga Bandung yang sering kali “terkurung” karena malas bepergian di hari sabtu melalui jalur kuliner atau factory outlet, pasti saya akan “terjebak” kemacetan parah di jalanan. Belum lagi harus banyak mengelus dada dengan “etika lalu-lintas” di kota Bandung. Bisa dikatakan hanya Tuhan yang tahu kemana angkot dan motor akan berbelok atau berhenti, kalau naik angkot saya berjuta kali mengelus dada dan harus banyak-banyak bersabar karena “etika lalu-lintas” sopir angkot yang “tertib” dari ngetem super lama, berhenti semena-mena, nyetir seperti membawa barang bukan membawa penumpang, dan seringkali tarif angkot yang semena-mena (jauh-dekat lebih mahal dekat!!).

Kalau naik motor saya mengelus dada dengan pengendara motor lain yang berbelok atau ngebut tanpa memberi lampu peringatan. Saat saya mengendarai dengan etika lalu-lintas yang baik dan benar….wah-wah klakson marah dari pengemudi motor atau angkot yang “ber-etika” berikut umpatan akan memberondong saya. Semakin ke sini semakin sedikit pengemudi yang bersabar. Belum lagi saya harus nge-rem mendadak karena ada angkot yang tiba-tiba berhenti di depan saya.

Naik mobil pribadi…wah ini lagi perkara dari sana-sini, sejuta kali elus dada untuk perjalanan dekat sekalipun. Karena ada faktor-faktor eksternal mengganggu dari sana-sini (motor dan angkot), untuk satu ini saya selalu menjadi penumpang saja….jadi penumpang saja kesalnya bukan main apalagi jadi supirnya…pilihan terakhir ketika saya sangat-sangat malas sekali (means haroream!!) berkutat dengan mesin-mesin jalanan itu jadilah pejalan kaki, menggunakan sarana termudah tanpa stress (seharusnya begitu!!). Tapi ternyata saya masih harus menemui hasil infrastruktur dan kedisplinan yang buruk negara kita. Well kalau dibuat piramida strata sosial dalam berlalu-lintas…pejalan kaki itu ada di urutan terendah…kasta terbawah begitulah. Hak-hak pejalan kaki di Bandung bisa di bilang rendah sekali hanya di beberapa wilayah saja saya bisa merasakan nyamannya berjalan kaki di trotoar yang nyaman, tanpa gangguan pedagang kaki lima yang merampas penuh wilayah trotoar, gangguan trotoar yang rusak, dipenuhi pot besar, atau klakson keras-keras dari mobil, angkot dan motor yang tidak sabaran padahal jelas-jelas saya menyebrang di zebra cross pada saat lampu merah (dilindungi undang-undang kalau menyebrang di zebra cross…begitu kata salah satu plang layanan masyarakat di jalan di daerah taman lalu-lintas).

Cerminan ketidakdisiplinan masyarakat kita kah? dirunut ke akar masalah bisa dibilang sebagian besar orang “nembak” saat membuat SIM, melalui calo atau oknum kepolisian…tanpa proses panjang seperti tes tulis, tes praktek, asal punya uang lebih. Hasilnya lihatlah berbagai kesemrawutan lalu-lintas yang terjadi…belum lagi banyak oknum polisi tilang yang mudah sekali di ajak damai dengan “salam tempel”, tidak ada ketegasan hukuman saat pengendara melanggar aturan…akhirnya lagi-lagi lihat saja berbagai kesemrawutan yang terjadi.

Long weekend di Bandung kemarin jangan ditanya seperti apa Bandung. kemacetan luar biasa di daerah jalan dago, siliwangi, cipaganti, setiabudi. Rejeki besar dengan uang mengalir deras untuk sektor perdagangan dan pariwisata. Saya membaca koran, Bandung itu surplus 7 miliar dari hasil pendapatan pariwisata hari libur long weekend kemarin…semoga saja pihak pemkot bisa memanfaatkan surplus untuk perbaikan infrastruktur lalu-lintas kota Bandung yang semakin semrawut. Transportasi dan sarana publik di rehabilitasi dan suasana wisata akan nyaman dan tertib tentunya dibarengi etika pengguna jalan.

Sejak januari memang urusan membuat SIM di bandung mulai lebih ketat tidak bisa lewat calo atau biro jasa, semuanya prosedural….menjadi lebih murah dan sulit (sebenarnya hal ini sudah ada dari dulu tapi baru sekarang digalakkan, tidak pernah ada kata terlambat untuk memulai sesuatu menuju ke arah yang lebih baik). Ada tes tertulis mengenai lalu-lintas, tes praktek (mengendarai kendaraan), banyak yang tidak lulus karena tesnya katanya sulit….atau kita memang tidak biasa dengan tes-tes semacam itu, biasanya kan serba instan. Semoga aturan baru ini membawa perubahan pengemudi dalam berlalu-lintas. Saya dan mungkin banyak warga lain yang mengalami “pengalaman buruk” berlalu-lintas setiap hari, merindukan keamanan dan ketertiban di jalanan, naik transportasi umum yang nyaman seperti di negara tetangga (Malaysia, Singapore, Jepang) atau negara seberang lain yang sudah berinfrastruktur baik. Bukan sebuah keniscayaan semata tapi pasti bisa diwujudkan walau saya dan rekan-rekan masih menanti itu terwujud dari para stakeholder bersangkutan. Saya dan rekan-rekan lain membayar pajak dan pajak itu seharusnya bisa terealisasi dengan fasilitas publik memadai….

Biene_maja
Sonntag, den 23.03.2008

Tidak ada komentar: